Jebakan Rasio Keuangan

Source: https://my.stockbit.com/post/6433296

Setiap kali saya medical check-up atau berobat ke dokter, tekanan darah saya selalu diukur, dan selalu saja hasilnya menyimpulkan bahwa tekanan darah saya dalam kategori rendah. Yang saya ingat batas bawahnya 80, dan atasnya 110, saya kurang paham maksudnya apa, yang pasti dokter selalu menanyakan apakah saya tidak merasa pusing? Saya jawab tidak, dan bertanya kenapa tekanan darah saya selalu rendah, biarpun saya merasa sedang sehat sekali, berat badan bertambah. Kemudian dokter menjawab bahwa: Tekanan darah yang selalu rendah, bukan berarti karena mengalami sakit hypotensi, tetapi memang ada sebagian orang yang memang tekanannya darahnya selalu rendah, yang disebabkan oleh “keturunanan” dan seiring dengan pertambahan usia. Sepanjang memang selalu stabil dan tidak ada keluhan yang berkaitan dengan tekanan darah rendah seperti jika berdiri terlalu lama mengakibatkan kepala pusing, mual dan bahkan pingsan. Maka kata dokter kondisi saya baik-baik saja, namun saya tetap disuruh waspada untuk terus menjaga kesehatan.

Selanjutnya saya bertanya lagi kepada dokter apakah kalau tekanan darah saya normal-normal (tekanan darah naik) seperti kebayakan ukuran orang normal pada umumnya; apakah saya juga berarti baik-baik saja? Jawaban dokter sama saja, tergantung kondisi fisik saya pada saat itu. Pengukuran tekanan darah adalah sekedar pemberitahuan awal kepada dokter untuk memulai pemeriksaan fisik, agar selanjutnya treatment yang akan diberikan sesuai dengan data awal yang diterima oleh dokter sebelum pemeriksaan.

Moral story pengalaman saya tersebut adalah, ternyata indikator yang tidak bagus tidak selamanya hasilnya tidak bagus. Dan sebaliknya indikator yang bagus juga bukan berarti hasilnya bagus. Masih terdapat faktor-faktor lain yang melingkupinya.

Begitu juga pada saat kita menggunakan indikator kinerja keuangan berdasarkan rasio keuangan, bahwa hasil hitungan anda menyimpulkan kinerja keuangan baik atau buruk, wajar atau tidak wajar, masih tergantung kepada faktor-faktor lingkungan usaha suatu emiten. Dan dari indikator, sebagaimana yang dijelaskan oleh dokter di atas tentang “indikator tekanan darah”, maka angka pada indikator keuangan hanya cocok digunakan sebagai strategi investasi, apakah kita akan masuk saat ini atau menunggu harga terbaik, beli nyicil atau all in.

Sedangkan untuk memutuskan beli atau tidak jangan pakai indikator keuangan karena terlalu beresiko. Penulis menggunakan pendekatan GCG daripada PSP. Jika PSP tidak dapat dipercaya tidak mungkin kita serahkan uang kepada PSP untuk mendapatkan laba. Berbeda dengan perusahaan yang kinerjanya tidak baik, tetapi tidak ada indikasi bahwa GCG-nya bermasalah, maka masih mungkin dapat dibeli sahamnya, anda dapat meneysuaikan strategi investasi, ingin long investment atau sekedar ingin main cepat, ingin beli sekarang atau nanti, ingin beli cicil atau all in.

Bagimana dengan BUMN, yang kebanyakan GCG-nya tidak baik. Betul dan itu memang sudah terbukti, misalnya dengan diangkatnya timses sebagai komisaris. Tetapi saya tetap membeli sahamnya, karena PSP-nya BUMN adalah “NKRI”, right or wrong is my country, tentu saja saya mempertimbangkan rasio keuangan (kinerja keuangan) untuk menentukan strategi investasi pada perusahaan BUMN. Starategi tersebut akan menentukan pada harga berapa saya akan beli, dan berapa banyak yang dibeli.

Kembali lagi ke indikator keuangan, misalnya kita menganggap emiten yang terlalu banyak inventory seperti $PMMP adalah tidak baik karena akan ada beban tambahan yaitu biaya menumpuk inventory (tempat, perawatan, keusangan dan beban bunga). Tetapi menurut pengakuan emiten, penyebabnya adalah kondisi persaingan usaha yang mengharuskan emiten memiliki kemampuan menyediakan ready stock yang dapat bertahan hingga 2,4 tahun (menurut perhitungan rasio keuangan pada saat IPO), sehingga menjamin pasokan kepada customers dan menjamin emiten unggul dalam persaingan bisinis. Selain itu menurut emiten secara tehnologi dimungkinkan untuk menyimpan bahan baku sampai dengan 2,4 tahun, meskipun saya yang awam ini, merasa takut juga makan daging-dagingan yang telah disimpan 2,4 tahun lalu. Dan ternyata memang tidak ada masalah terhadap emiten, meskipun rasio inventory turnover = 2,4 tahun, terbukti sekarang rasio inventory turn over telah turun menjadi kurang dari 1 tahun saja, dan kinerja emiten tetap menunjukan arah yang baik setelah IPO. Seolah-olah dapat disimpulkan bahwa rasio inventory turn over yang dihitung pada saat ipo tidak ada gunanya. Tetapi saya sedang tidak mempompom saham ini, karena GCG No. 1, maka status emiten ini adalah mantan.

Contoh lain, kita menganggap bahwa terlalu banyak saldo cash adalah pemborosan, misalnya $ULTJ yang selalu me-maintain saldo kasnya selalu diatas Rp. 1,5 triliun selama 5 tahun terakhir, meskipun posisi utang berbunga sangat rendah. Secara rasio keuangan jumlah saldo kas sedemikian besar seharusnya tidak sehat, karena menyebabkan posisi emiten selama 5 tahun terakhir menghasilkan rata-rata surplus net working capital (asset lancar – liabilitas lancar) sebesar lebih dari Rp. 2,5 triliun per tahun. Padahal penjualan rata-rata yang dihasilkan dalam 5 tahun terakhir hanya sebesar = Rp. 5,5 triliun. Artinya untuk menghasilkan penjualan Rp. 5,5 triliun, emiten harus menyediakan net working capital sebesar Rp. 2,5 triliun.

Ini adalah indikator yang buruk, misal pada tahun 2020 untuk menghasilkan penjualan sebesar Rp. 6 triliun, emiten selain membutuhkan asset tetap sekitar Rp. 3,2 triliun, emiten juga membutuhkan modal kerja bersih Rp. 3,3 triliun; Ini yang dinamakan rakus “Modal Kerja”, yaitu pada saat modal kerja yang harus disediakan melebihi nilai asset tetapnya. Kalau mau mengibaratkan agar supaya lebih paham, ini seperti menjual emas dipinggir jalan menggunakan “tenda biru”.

Tetapi tetap tidak dapat disimpulkan bahwa rasio keuangan ULTJ adalah buruk, karena faktanya emiten menghasilkan NPM yang relative besar dan stabil sekitar lebih dari 15%. Indikator tersebut hanya bermanfaat untuk menjelaskan kenapa PSP pelit berbagi laba bersih (dividend), karena memang lingkungan bisnis ULTJ yang menyebabkan emiten harus memiliki Net working capital yang besar, hampir 50% dari pada penjualannya, dan nilai tersebut hampir sebesar asset tetapnya, padahal untuk membayar dividen tentu saja akan menggunakan / menurunkan nilai “net working capital”. Tetapi saya juga tidak memiliki emiten ini karena pertimbangan dividend dan GCG.


Indikator kunci

Kalau indikator keuangan menjadi tidak dapat digunakan untuk menyimpulkan kinerja emiten, lalu apakah ilmu management keuangan RIP?!? Mungkin itulah kesimpulannya. Tentu saja menurut penulis tidak, karena biar bagaimanapun akan selalu ada indikator keuangan yang dapat digunakan sebagai indikator kunci, yaitu seperti yang telah penulis uraikan pada postingan sebelumnya yaitu dividen atau lebih tepat lagi Dividend Payout Ratio. Jadi jika indikator keuangan tentang DPR nilainya besar, maka otomatis indikator keuangan lainnya juga baik, meskipun indikator keuangan lainnya secara teori management keuangan adalah buruk.

Namun demikian masing-masing investor dapat menentukan sendiri “indikator keuangan yang menjadi kunci”. Tidak harus sama dengan penulis.

Penulis menggunakan contoh $UNVR, yaitu bahwa dalam 5 tahun terakhir rata-rata net working capital sebesar defisit Rp. 4,2 triliun. Ini adalah indikator keuangan yang buruk, karena “defisit net working capital” artinya rasio keuangan pada “current ratio” lebih kecil dari 1, dan itu telah terjadi dalam kurun waktu 5 tahun terakhir. Secara teoritis bakal menyebabkan emiten akan kekurangan likuiditas pada saat utang lancar jatuh tempo. Tetapi faktanya UNVR tidak pernah mengalami krisis likuiditas. Oleh karean itu harus digeser sudut pandangnya, yaitu ini berarti untuk menghasilkan laba, UNVR tidak pernah menggunakan uang shareholder. UNVR cukup menggunakan utangan dari para vendor dari pihak-pihak lainnya. Inilah yang dinamakan perusahaan super hemat modal kerja.

Meskipun pada tahun 2020; fixed asset yang harus disediakan sebesar Rp. 11,7 triliun, tetapi setelah dipotong dengan dengan defisit modal kerja = -Rp. 4,5 triliun; maka asset bersih yang digunakan oleh emiten hanya sebesar = 11,7-4,5 = Rp. 7,2 triliun, yang kemudian mampu menghasilkan laba bersih sebesar Rp. 7,1 triliun. Agar supaya memahami, anggap saja anda sedang menginap dihotel bintang 5, dimana pihak hotel akan menyediakan kulaitas sabun yang standar saja didalam kamar mandi mewah anda. Dan anda tidak merasa telah membayar mahal atas sabun-sabun yang kualitasnya biasa-biasa saja tersebut. Maka jangan heran kalau PSP UNVR tidak memiliki niat untuk menahan-nahan laba, dan membagikan seluruh laba, sebab memang UNVR hanya membutuhkan modal dengkul untuk menciptakan laba. Jadi kalau berinvestasi pada UNVR gunakanlah Dividend Payout Ratio, jangan gunakan analisa current ratio atau quick ratio.

Demikian semoga bermanfaat.

Comments

Popular posts from this blog

ADA MASA DEPAN

KITA SUNGGUH BERHARGA

KUNCI BERKAT