Dividend Yield vs Dividend Pay-out Ratio

 Source: https://my.stockbit.com/post/6399854

Dividend Pay-out Ratio (DPR)

Kalau anda mengatakan bahwa DPR adalah sekedar membandingkan antara bagian “laba bersih” yang dibagikan kepada shareholder dengan “laba bersih” yang ditahan, maka anda benar secara “bentuk (form)”, tetapi anda tidak harus menjadi investor pintar untuk memahami “bentuk” dari DPR.

Sebelumnya telah saya jelaskan pengertian DPR secara substansial pada postingan disini https://bit.ly/3wwX3dX dan disini https://bit.ly/2SlsDfL

Namun akan kembali saya jelaskan philosfy atau substansi tentang DPR. Dan saya menyarankan anda, agar dalam kondisi apapun, selalu menggunakan cara berfikir yang "philosfis" dan "subtantif" bukan hanya sekedar “bentuk (form)” agar supaya tidur anda nyenyak, hidup anda tenang dan tidak gampang terpengaruh dengan situasi “pasar” yang mungkin akan membuat anda selalu curhat di SB.

Jadi pada hakikatnya dividend adalah bagian dari ekuitas, dan ekuitas adalah hak residual (sisa) atas aset entitas setelah dikurangi liabilitas (ekuitas = Asset - liabilitas). Sehingga para pemegang saham akan mendapatkan nilai sisa apabila perusahaan dibubarkan, dan terbebas dari rasa "was-was" atas tuntutan utang setelah perusahaan dibubarkan.

Demikian pula kita seharusnya memandang DPR; bahwa DPR adalah “nilai sisa”, sehingga DPR dapat dihitung sebagai berikut:

DPR = Total Laba bersih – Kewajiban membayar utang jatuh tempo – Belanja modal – Menutup kebutuhan modal Kerja.

Jadi kalau anda memilih saham berdasarkan DPR, berarti anda telah mendapatkan kepastian dan terbebas dari rasa was-was, karena:
(1) Perusahaan telah bayar utang jatuh tempo, (2) perusahaan telah melakukan belanja modal (3) Telah cukup kebutuhan modal kerjanya

Tentu saja, mungkin anda bingung, pada saat kondisi DPR = 100%, atau pada saat seluruh laba bersih habis dibagikan kepada shareholder, lalu bagaimana caranya perusahaan dapat menutup kebutuhan (1) bayar utang jatuh tempo, (2) belanja modal atau ekspansi, (3) menutup kebutuhan modal kerja?

Paling tidak ada 5 alternatif jawaban yang mungkin, sebagai berikut;

(1) Dengan dibayarnya DPR sebesar 100%, maka dapat disimpulkan bahwa posisi keuangan perusahaan memang sedang tidak ada utang jatuh tempo yang harus dibayar, atau tidak sedang butuh belanja modal (capex) dan CFO nya sedang surplus, maka tidak butuh modal kerja. Sehingga tidak ada masalah jika emiten membayar DPR = 100%.

(2) Bahwa perhitungan DPR berdasarkan laba bersih. Faktanya arus kas perusahaan selain dari laba bersih, masih terdapat sumber penerimaan kas lainnya, yaitu cash profit, dan uraian saya mengenai konsep cash profit dapat dilihat disini https://bit.ly/34emaWR, dimana;

Cash profit = laba bersih + beban depresiasi dan amortisasi.

Dengan demikian terdapat selisih “cash” antara cash profit dengan net profit, yang nota bene sebenarnya adalah “depresiasi” yang kemudian “cash-nya” dapat digunakan kembali untuk belanja modal (fixed assets).

(3) Selain itu emiten masih mungkin untuk menjual asset yang dianggap sudah tidak menguntungkan, atau lebih menguntungkan jika asset tersebut dijual, dimana hasilnya dapat digunakan untuk membayar utang, membeli asset baru dan digunakan untuk menutup kebutuhan modal kerja.

(4) Emiten dapat menutup kebutuhan belanja asset dengan cara berutang kepada Bank. Tidak ada yang salah dengan utang bank sepanjang laba perusahaan mampu membayar utang dan bunga jatuh tempo, dan tidak membuat perusahaan harus gali-lubang-tutup-lubang . Dan manfaat menggunakan utang Bank, ternyata cost of capitalnya lebih murah ketimbang cost of capital yang menggunakan dana milik shareholder. Sebab cost of capital dana dari shareholder adalah dividend, yang tidak pernah berhenti dibayar sampai waktu yang tidak terhingga, sepanjang emiten memiliki saldo laba ditahan, sehingga cost capital = ~ (tidak terhingga). Sedangkan cost of capital dari utang Bank relative lebih murah karena ada batasnya, dan akan menjadi Rp. 0 setelah utang Bank seluruhnya dilunasi.

(5) Emiten dapat menggunakan saldo kas awal (jika tersedia) untuk menutup kebutuhan belanja modal, bayar utang bank dan menutup kebutuhan modal kerja.

Jadi jangan heran kalau $HMSP, meskipun membagikan seluruh labanya (DPR = 100%), tetapi tahun 2018 tetap mampu belanja asset tetap sebesar Rp.984,5 miliar, tahun 2019 mampu belanja sebesar Rp. 984 miliar dan tahun 2020 = Rp. 566,8 miliar, tanpa harus mendapatkan utang Bank, dan juga tanpa harus menggunakan saldo kas awal. Demikian juga dengan $SIDO yang pada tahun 2019 sanggup belanja aset tetep sebesar = Rp. 122,8 miliar dan tahun 2020 = Rp. 93 miliar. Mungkin belanja asset tetap kedua emiten tersebut terlihat kecil, tetapi memang begitulah cara berbisnis yang baik, kalau dengan belanja aset tetap sebesar tersebut telah mencukupi dan sesuai dengan rencana Perusahaan, kenapa harus belanja asset tetap lebih banyak lagi, atau dalam bahasa kerennya “capital efficiency”. Dan kalau menurut anda kurang besar belanja assetnya, itu seperti anda sedang mengajari “ikan berenang”. Management / emiten telah mengetahui berapa banyak kebutuhan belanja asset tetapnya.

Pada akhirnya antara saya yang menganut DPR sebagai koentji dengan anda yang menomor-satukan “dividend yield” adalah typical investor yang sama, yaitu sama-sama bermuara kepada besarnya dividen yang dibayar oleh emiten. Bedanya anda dengan saya adalah;

Saya memisahkan pengukuran kinerja dengan harga market, karena saya memang seorang fundamentalis murni, dengan jargon unggulan “in fundamental we trust”. Sehingga dengan pendekatan fundamental, saya memahami bahwa DPR adalah turunan dari kinerja perusahaan yaitu “nilai sisa laba” yang dapat dibagikan kepada shareholder, setelah laba bersih digunakan untuk membayar utang, belanja modal dan menutup kebutuhan “modal kerja”. Sedangkan anda menganggap DPR hanya sekedar “gambaran berapa persen dari keuntungan yang dibagikan perusahaan setiap tahunnya”.

Kalau saya memandang dividend yield bukan ukuran kinerja fundamental, karena menggunakan input harga market saham, tetapi anda memandang sebagai berapa persen “ongkos tunggu”, yang saya dapat teruskan kalimatnya…. “sebelum sahamnya dijual”. Tidak ada yang salah dengan menjual saham apalagi untung. Cuman berbeda dengan pendekatan dengan saya, bahwa saham harus dapat menjadi asset pensiun dan juga dapat diwariskan kepada anak cucu sepanjang “modal”nya telah Kembali.

Dan kalaupun nasib anda sedang apes “salah membaca, laporan keuangan”, anda mungkin senang-senang saja, tidak menyadari telah membeli “perusahaan busuk” yang sanggup memberikan sedikit dividend, tetapi jika anda membeli pada harga yang tepat, maka akan menghasilkan dividen yield yang “lumayan” besar. Contoh dahulu saya tidak keberatan membeli $TELE karena “laporan keuangan bagus – tapi saya tertipu” dan didukung dengan historical dividend, yang kalau dihitung pada saat saya membeli saham TELE, akan menghasilkan dividend yield setara dengan 3%, sehingga layak dibeli cicil sambil menunggu waktu harga market saham TELE terkoreksi (naik ataupun turun). Tetapi apa dilacur, perusahaan busuk tersebut kolaps dan suspend. Padahal jika semenjak awal saya telah menetapkan DPR sebagai pengukuran kinerja, maka historical DPR yang ditawarkan oleh TELE hanya sekitar 10% tentu sudah saya singkirkan jauh-jauh emiten ini semenjak awal.

Kelemahan konsep dividend yield lainnya, ternyata semua investor dapat menentukan berapa besar “dividend yield-nya” masing-masing. Caranya sangat mudah anda tinggal menunggu, pada harga beli berapakah yang sesuai dengan harapan dividen yield anda. Sedangkan atas DPR, anda tidak memiliki kuasa apapun, selain bergantung kepada kinerja emiten. Dan memang, jika maksud dan tujuan anda membeli saham dengan pendekatan investasi (bukan berdagang), maka hanya “kinerja emiten” satu-satunya yang harus anda andalkan. Jangan sampai dimanipulasi oleh “diri anda sendiri” dengan cara menunggu harga murah agar supaya dividend yield-nya menjadi besar. Demi keselamatan anda, hindari saja saham yang DPR-nya kecil, meskipun memberikan dividend yield yang besar.

Adapun mengenai harga market saham, menurut saya harus dianalisa secara terpisah, yaitu membandingkan antara harga wajar saham vs harga market saham, sehingga perbandingan tersebut menjadi apple-to-apple. Kalau harga market saham dianalisa dan dibandingkan dengan dividen menjadi tidak apple to apple dan dapat menyesatkan. Jadi kalaupun saya sedang antri beli pada harga market saham lebih rendah lagi, itu bukan bertujuan untuk mendapatkan dividend yield yang lebih besar, tetapi semata karena harga market yang ditawarkan masih di atas harga wajar atau harga target yang saya tetapkan.

Tetapi pada akhirnya, atau ujungnya kita tetap sama mengandalkan “DIVIDEND”, sebagai koentji. Jadi keep…. In touch. Dan mohon maaf kalau postingan saya membuat anda tidak nyaman.

Demikian semoga bermanfaat.

Comments

Popular posts from this blog

ADA MASA DEPAN

KITA SUNGGUH BERHARGA

KUNCI BERKAT